4:03 AM
About the author
Farrel Austrin Rahmadi adalah seorang lelaki kelahiran tahun 2002 dan bersekolah di SMK Pelita Alam. Berminta pada bidang komputer dan fotografi. Hobi keseharian adalah menggunakan komputer dan mengambil gambar gambar melalui kamera dan smartphone, Farrel telah melaksanakan beberapa tugas bahasa indonesia yang ia senangi, termasuk ini.
Tiga puluh jam yang lalu aku membeli tiket pesawat tengah malam menuju New York ke Los Angeles. Setelah menaiki kedalam pesawat aku melihat sebelah tempat duduk ku kosong, pesawat lepas landas dengan aman dan akhirnya aku tertidur lelap meniduri dua tempat duduk.
Aku tertidur beberapa jam, tidak tahu berapa lama, tetapi aku terbangun karena pergolakan yang parah, sampai sepertinya lampu di kabin pesawat sempat mati, tapi aku terlalu ngantuk untuk menyadarinya.
Aku mengambil telfon genggamku dan melihat bahwa waktunya adalah 4:03 AM, yang aku pikir sekitar satu jam sampai mendarat sampai tujuan.
Ketika aku melihat keluar jendela, aku terkejut akan melihat tiada apapun selain lautan. Rahangku terjatuh; yang benar saja, tentu tiada laut diantara New York dan Los Angeles.
Aku menekan tombol untuk memanggil pramugari dan menunggu beberapa menit sambil mengolah di dalam pikiran ku; apakah itu danau yang kemungkinan sangat besar yang bisa menjelaskan apa yang barusan aku lihat.
Aku terkejut ketika pramugari menyalakan lampunya, dia menyengir dari telinga ke telinga, dan air mata mengalir di pipinya
“Ada yang bisa dibantu pak?” dia bertanya
Aku membatu seketika terhadap reaksi pramugari itu sebelum menanya pertanyaan aku.
“Kita dimana? Mengapa terlihat kita terbang diatas laut?”
Dia mengusap pipinya untuk menghilangkan air matanya, tetap menyengir dengan lebar.
“Pak, kami akan mendarat dalam sekitar satu jam”
“Tapi, umm, Ok, terimakasih.” Aku berkata
Setelah dia pergi aku periksa telfon genggamku lagi. 4:03 AM mengedip kembali kepadaku.
Tidak berubah.
Aku sudah menunggu sejak menekan tombol panggilan sekitar lima menit. Kenapa bisa tidak berubah sama sekali?
Aku membuka laptop dan melihat juga bahwa ditunjukkan 4:03 AM. Aku mengeluarkan telfon genggamku, menyalakan aplikasi stopwatch, dan menghabiskan dua jam melihat bolak balik diantara jam laptop dan jam telfon, menunggunya untuk berubah
Tidak pernah.
Aku menepuk perlahan pundak ibu tua yang duduk didepan barisanku. dia menatap kebelakang, dengan ekspresi dia yang merasa terganggu. “Iya?” dia bertanya.
“Apakah anda tahu berapa lama lagi kita akan mendarat?” Aku bertanya
Dia menyempitkan matanya. “Pramugari itu berkata kita akan mendarat dalam sekitar satu jam lagi.”
Aku menggelengkan kepalaku dalam kebingungan. “Pramugari itu? Kita berbicara hampir dua jam yang lalu! Kita seharusnya sudah mendarat!”
Dia menatapku seolah aku sudah kehilangan akal. Aku ingin melanjutkan untuk meyakini dia, tetapi aku merasakan tangan di pundakku. Aku menengok untuk melihat pramugari pria yang menyengir padaku, air mata mengalir dan menetes kepada pundakku
“Pak, saya meminta bapak untuk menenangkan diri, atau saya akan panggil Kapten”
Aku memberitahukan bahwa tidak perlu dan duduk kembali. Dia menyingkirkan tangannya dan menjauh
Para Pramugari berlanjut untuk menghampiri aku setiap beberapa jam untuk menawarkan makanan. Stopwatchku masih lanjut berdetik dan sekarang memberi tahu aku bahwa aku sudah berada di pesawat ini selama lebih dari tiga puluh jam.
Aku sudah berbicara kepada beberapa penumpang, tetapi mereka semua memberitahukan kepadaku bahwa kita akan mendarat dalam sekitar satu jam.
Tiga jam yang lalu aku mencoba untuk ke first class. Aku berhasil melewati tirai tetapi di tuntun kembali oleh dua Pramugari yang menyengir. Genggaman mereka kepada tanganku seperti baja.
“Pak, tanda seatbeltnya menyala,” satu berkata “Mohon tetap berada di tempat duduk anda dengan sabuk pengaman dipasang. Kita akan mendarat sekitar satu jam lagi”
Aku sudah hampir kehabisan harapan, sampai satu wanita melewati barisan ku mengenai pakaian bisnis.
Dia tidak menoreh kepadaku atau memperlambat jalannya, tetapi dia menjatuhkan sebuah lipatan kertas kepada baki aku selagi dia berjalan menuju kamar kecil di belakang pesawat ini.
Aku langsung melihat kebelakang sebelum membukanya.
Isinya berkata “Apakah kamu terjebak juga?”
Aku mengleuarkan pulpen dan menulis
“Iya. Sudah tiga puluh jam”
Aku melipat kertasnya dan menaruhnya di baki lagi untuk dia mengambil. Dia meniggalkan kamar kecil dan mengambilnya di saat dia melewati barisanku.
Dua puluh menit sudah lewat sejak itu.
Tidak tahu mengapa, tetapi aku rasa para pramugari tidak akan senang jika mereka tahu kita sedang berbicara.
Tidak apa. Aku harus melakukan sesuatu.
Beberapa jam setelah wanita itu mengambil kertas yang berisi pesanku itu, dia kembali menghampiri ku dan duduk di sebelahku. Dia menunduk, mencoba untuk tidak ketahuan.
“Jadi, kamu terjebak juga?” dia bertanya
Aku berbisik. “Iya. Namaku Jack, ngomong ngomong, aku akan berkata senang bertemu denganmu tapi..”
Dia mengangguk. “Aku Mary. Kamu salah, mendapatkan pesanmu adalah hal yang terbaik selama sehari. Aku menghabiskan waktu kemarin memikirkan apakah aku sendiri dalam hal ini.”
Dia berhenti sejenak, menoreh ke lorong pesawat. Ketika dia berbicara lagi dia berbisik.
“Jadi.. Jack, kamu punya teori dengan apa yang terjadi sekarang ini?!…”
Aku berfikir untuk berbohong tetapi kejujuran adalah yang terbaik. “Sepertinya kita sudah mati”
Mary menggelengkan palanya. “Mungkin saja jika itu hanya kamu atau hanya aku. Jika ini memang benar adalah perjalanan ke neraka, mengapa hanya kita berdua yang menyadarinya?”
“Tidak tahu” aku jawab
Mary mengleuarkan telefon genggamnya dan memberikannya kepadaku. Menunjukkan artikel Wikipedia untuk MH370, pesawat yang hilang pada tahun 2014. Aku membaca artikelnya dengan teliti; ada sangat banyak teori untuk mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Dari hypoxia, bunuh diri, dan alien
“Tidak banyak memberi tahu kita” aku berkata
“Tidak banyak, lainkan ini sudah pernah terjadi sebelumnya,” Mary menjawab
“Kamu? Apakah ada teori mengapa orang lain tidak bisa melihat apa yang terjadi?” aku bertanya
Kita membicarkannya dan kita berdua menyadari bahwa kita terlelap pada pukul 4:03
“Tidak mungkin hanya kita yang terlelap saat itu.” Mary berkata
“Mungkin semua orang sedang tidur saat itu, aku pun tertidur dengan sangat nyenak” aku jawab
Lampu kabin mati dan lampu darurat menyala di lantai, membuat seluruh kabin menyala merah. Interkom menyalah dan berbicara
“Para penumpang, mohon kembali kepada tempat duduk kalian. Pasanglah sabuk pengaman, kemungkinan kita akan mengalami pergolakan. Kita akan mendarat sekitar satu jam lagi”
Mary membatu. “Haruskah aku kembali?” dia bertanya
“Mungkin mereka tidak akan menyadarinya bahwa kamu tidak di tempat dudukmu. Tetapi mereka mungkin sudah tau dan ingin memisahkan kita”
Mary mengangguk. “Kita harus tetap bersama. Itu ide yang bagus”
Interkomnya terdengar menyala lagi.
“Para penumpang, Saya senang untuk mengumumkan kedatangan Kapten. Kita akan diberikan kesempatan untuk berbicara kepadanya. Mohon tetap berada di tempat duduk anda sampai ia memanggilmu. Jika anda membutuhkan bantuan, jangan khawatir. Pramugari dengan senang hati akan membantu anda”
Suara penumpang yang berdiri menggema dari ujung pesawat. Kami hanya duduk terdiam, mencoba mengintip apa yang terjadi dibelakang tirai first class
“Kapten?” aku bertanya
“Tidak tahu, tetapi sepertinya mereka membicarakan tentang pilot, bukan?”
“Bukan.”
Di saat itulah tercium bau sulfur yang tajam, sangat tajam sampai membuat aku untuk hampir muntah. Baunya mengingatkan aku terhadap telur busuk yang terburuk yang pernah ku cium seumur hidupku. Tetapi ibu tua yang didepanku tidak memberikan reaksi. Dia tetap menonton film yang ada didepan tempat duduk dia.
“Jangan batuk,” Aku bilang ke Mary
Kita melawan baunya selama beberapa detik sebelum akhirnya batuk batuk dengan keras
Sedetik setelah itu tirainya terbuka. Mary dan aku membatu, menatap badan pesawat yang sekarang berwarna merah.
Empat pramugari melewati tirai dan berjalan menuju barisan kita , mulut nyengir lebar menghiasi muka mereka. Mereka masih menangis, tetapi saat ini yang mengalir di pipi mereka mempunyai warna yang lebih gelap. Sedikit sulit untuk melihat apa itu, Tetapi terlihat seperti darah.
Mataku tidak terpicu kepada mereka. Aku lihat dibelakang pundak mereka dan di ujung pesawat, ada sosok bayangan hitam yang berdiri di samping pintu kokpit. Ia tingginya sekitar delapan kaki dan menunjuk kita dengan satu jari. Ia memanggil kita.
“Kamar kecil!” aku teriak
Kita berlari ke belakang pesawat, pramugari mendekati di belakang kita. Darah menetes dari pipi mereka sampai ke karpet pesawat.
“Kapten sudah sampai,” salah satu dari mereka berbicara dengan intonasi customer service yang bagus. Nyengirnya melebar sembari ia berjalan menuju kita.
Kita sampai di kamar kecil, memasuki ke sisi yang berlawanan. Aku membanting pintunya tertutup dan menguncinya, menekan kakiku ke lipetan tengah pintu untuk tetap menutupnya.
Mereka mulai menggedor pintunya dan menarik gagangnya selagi aku menahan.
“Maaf, tetapi kalian berdua diperlukan untuk berbicara kepada Kapten” salah satu dari pramugari berkata
“Jack!” Mary berteriak. “Jack tolong!”
Suara patah yang berbeda, seperti besi, terdengar dari kamar kecil Mary. Dia lanjut berteriak, suara berteriak Mary mulai berpindah sampai ujung pesawat, menuju sosok hitam yang aku lihat.
Aku ingin menolongnya dan membantunya, tetapi tidak, dia dibawa ke depan dan beberapa detik kemudian, suara teriakannya tiba tiba berhenti.
Beberapa jam terlewat, dan aku masih terkunci di kamar kecil ini. Aku berusaha untuk tidak berfikir apa yang mereka lakukan kepada Mary. Sosok yang didepan pesawat itu tidak terlihat seperti manusia. Aku berharap sosok itu tidak membunuhnya. Setelah dia meminta tolong kepadaku seperti itu. Aku.. tidak bisa menerimanya.
Aku tidak mendengan suara di luar selama beberapa jam, tetapi aku takut untuk membuka pintu kamar kecil ini dan aku sudah terlalu lama tidak makan. Jika aku keluar, apakah para pramugari akan ingat? Bagaimana jika sosok itu masih menunggu untuk para penumpang?
Setelah berjam jam, aku membuka pintu kamar kecilnya. Lampu kabin kembali normal dan aku tidak mencium bau sulfur lagi.
Dengan hati hati, aku menuju tempat dudukku dan hampir menangis ketika pramugari menyengir menghampiriku untuk menawarkanku makanan. Makanan kualitas rendah itu bisa jadi makanan yang terenak yang aku pernah makan saat itu.
Ketika aku selesai makan, pikiranku langsung menuju ke Mary. Apa yang terjadi padanya?
Aku diam diam jalan melalui lorong pesawat menuju first class. Yang mengejutkan adalah, tidak ada pramugari yang terlihat. Mereka mengabaikanku, seperti mereka mau aku menemui Mary.
Mary duduk sendiri mendekati jendela di bangkunya dan menatapi telefon genggamnya memakai headphone. Aku duduk sebelah Mary dan memegang pundaknya.
“Mary!” aku panggil
Dia melepas headphonenya dan menatap aku dengan ekspresi terkejut. “Iya? Ada apa ya?
“Kamu tidak kenapa kenapa?” aku bertanya “Apa yang sosok itu lakukan kepada kamu? Apa yang mereka lakukan?”
“Maaf, apakah aku mengenalmu?”
“Maksudmu apa? Kita barusan-“
Aku telah menyadari dengan perasaan takut bahwa dia tidak tahu aku siapa. Aku melawan airmataku.
“Mary, berapa lama kamu berada di pesawat ini?”
Dia memeriksa jam tangan dia. “Sekarang 4:03, jadi sepertinya sudah beberapa jam.” Dia menatapku dengan sama seperti orang yang telah melihat keajaiban. Suara dia rendah dan meyakinkan
“Hey, jangan khawatir. Lihat sisi cerahnya; kita akan mendarat dalam beberapa jam.” Mary berkata
Aku merasakan genggaman baja itu lagi dan melihat keatas untuk melihat dua pramugari.
“Pak, area ini hanya untuk penumpang first-class.” salah satu dari mereka berkata.
Mereka masih dalam keadaan menangis dan menyengir, tetapi hanya air mata biasa saat ini, Aku melihat percikan bekas darah di depan seragamnya.
Aku diantar ke tempat dudukku yang dimana aku menghabiskan waktu untuk beberapa hari kedepan.
Pramugari akan tetap mengantarkan makanan, aku akan tetap menggunakan kamar kecil, dan aku akhirnya menggila akibat kesamaan dan kedataran suasana ini.
Dalam retrospeksi, beberapa hari itu tidak begitu buruk. Ada banyak konten di internet, bahkan dengan kualitas wifi pesawat yang buruk. Tidak, tidak memburuk sampai sekitar sepuluh hari kemudian yang akhirnya wifi pesawat mati.
Aku menunggu beberapa minggu kemudian sampai aku berteriak teriak untuk memanggil pramugari, mereka tidak datang selama beberapa menit tetapi akhinya salah satu dari mereka datang.
“Biarkan.. Biarkan aku bertemu Kaptenmu,” aku bertantya
Pramugari itu membungkukkan badannya untuk berbicara kepadaku dan berbicara dengan intonasi customer service itu:
“Maaf pak, Kapten sudah membuat keputusan terhadap bapak sudah cukup jelas. Bapak tidak menjawab panggilannya, dan harus menunggu,
“Berapa lama?”
“Cukup lama, saya rasa. Jangan khawatir pak, kita akan mendarat dalam sekitar satu jam” Dia menegakkan badannya dan pergi.
Aku mulai membuat goresan di berbagai tempat di belakang kursi, satu sisi goresan untuk menghitung seberapa banyak aku pergi ke kamar kecil, satu sisi untuk berapa kali aku makan, satu lagi untuk beberapa kali aku menonton film.
Aku rasa di saat hari ke tigapuluh bahwa, di momen panic dan frustasi, aku merusak laptop dan telfon genggamku, teriak sekencang mungkin. Tidak ada yang memberi reaksi kepadaku ini.
Dua bulan kemudian aku mulai membau. Otot kakiku mulai tegang dan sering keram. Aku akhirnya berfikir bahwa bunuh diri adalah pilihan terakhir.
Aku berdiri dan merangkak ke pintu gawat darurat. Aku tahu bahwa tekanan di dalam ruangan akan memaksa pintunya tertutup karena tekanan diluar pesawat, tetapi dengan situasi aku yang sekarang ini, tiada yang normal lagi.
Aku memegang gagang pintunya dan mendorongnya keatas. Dengan shock, pintunya terbuka dengan gampang. tidak ada angin yang menghembus masuk atau keluar. Suhu udara di dalam pesawat tetap dingin dan tiada yang berubah.
Pintu terbuka itu memanggilku, seperti portal hitam yang menuju keluar dari pesawat itu. Aku menatapinya selama beberapa saat, terlalu lama sampai akhirnya seorang pramugari memegang pundakku, menarikku jauh dari pintu dengan tenaga yang sepertinya marah dan mengejutkanku, aku melepaskan genggamannya dan aku lompat dari pesawat itu.
Angin yang menghembus lewat mukaku terasa ajaib, sensasi yang baru setelah berbulan bulan di dalam pesawat monoton itu. Lautnya membesar dan mendekat, dan akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak ingin mati.
Laut semakin membesar dan membesar sampai aku tidak bisa melihat apapun selain kegelapan dan ombak.
Aku menghantam permukaan air dengan sangat kencang sampai akhirnya seluruh tubuhku tersentak di bangku.
“Tidak,” Aku berbisik. Lalu berteriak
“TIDAK! TIDAK TIDAK!”
Seorang pramugari berlari menujuku dan berlutut disampingku. “Bapak baik baik saja?”
Aku menggenggam tanganku menjadi kepalan dan hampir mengayunkan tanganku kepadanya. Tetapi aku menyadari.
Dia tidak menangis
Dia tidak menyengir
Dia terlihat takut kepadaku.
Aku meraih kantongku untuk mengambil telfon genggamku yang sekarang tidak rusak.
4:04 AM
“Mohon tenang pak, kita akan mendarat dalam satu jam”
Mulutku terasa seperti abu.
“Baiklah, Terimakasih” ku jawab.